BuletinSumsel – Proyek pengembangan Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau menuai penolakan warga pada 16 Kampung Tua Melayu Rempang Galang. Proyek ini mengakibatkan 16 Kampung Tua tergusur.
Penolakan juga berakibat konflik antara warga dengan aparat keamanan. Konflik pertama terjadi pada pada Kamis (7/9/2023), Sebanyak 8 warga Rempang diamankan saat tim gabungan mau memasang patok tanah di Rempang.
Konflik kedua terjadi pada Senin (11/9/2023) saat ribuan massa yang mengatasnamakan Laskar Pembela Marwah Melayu melakukan aksi di Kantor BP Batam. Aksi yang diawali damai itu berakhir ricuh hingga menyebabkan Gedung BP Batam hancur, sebanyak 22 aparat keamanan, polisi, satpol PP dan pegawai BP Batam terluka serta 43 massa aksi diamankan oleh aparat keamanan.
Sejak tahun 2004 Proyek pengembangan Rempang Eco-city pertama kali muncul ketika pemerintah melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam menjalin kerja sama dengan PT Makmur Elok Graha (PT MEG), sebuah anak usaha dari Artha Graha Group yang dimiliki oleh taipan Tomy Winata.
Seiring berjalannya waktu proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional 2023, Rencana investasi tiongkok ditindaklanjuti pada 28 Juli 2023 lalu dalam bentuk tanda tangan MOU oleh menteri investasi Bahlil Lahadalia, disaksikan langsung Presiden Joko Widodo. Kemudian, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Daftar Proyek Strategis Nasional. Kebijakan ini ditandatangani oleh Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, pada 28 Agustus 2023 yang lalu.
kawasan ekonomi ini rencananya akan dikembangkan pada lahan seluas 7.572 hektare, (45,89%) dari total luas Pulau Rempang yang mencapai 16.500 hektare. Pengembangan Pulau Rempang akan mencakup sektor industri, perdagangan, dan pariwisata yang terintegrasi, dengan tujuan bersaing dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia.
BP Batam memperkirakan bahwa investasi untuk pengembangan Pulau Rempang ini akan mencapai Rp381 triliun dan akan menciptakan 306 ribu lapangan kerja hingga tahun 2080, dengan harapan akan memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi lokal. Selain itu, kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia yang dimiliki oleh perusahaan China Xinyi Group. Investasi proyek ini diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun. Namun kenyataannya, pengembangan proyek Rempang Eco-city ini memaksa sejumlah warga yang terdampak harus direlokasi.
Dengan kompensasi dari Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, yaitu pemerintah telah menjanjikan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi untuk mereka. juga memberikan berbagai keringanan seperti pembebasan biaya uang wajib tahunan (UWT) selama 30 tahun, pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB) selama 5 tahun, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
“Lokasinya berada di tepi laut. Sehingga memudahkan masyarakat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan untuk melaksanakan aktivitas. Dengan momentum pembangunan ini, saya berharap nasib masyarakat bisa berubah menjadi lebih baik,” ungkap Rudi pada Kamis (7/9) lalu.
Akibatnya, Warga yang terdampak oleh pembangunan ini akan dialihkan ke lokasi yang sudah disiapkan dan akan menerima biaya hidup sebesar Rp1,03 juta per orang dalam satu keluarga. Bagi warga yang sudah memiliki tempat tinggal di lokasi lain, mereka akan mendapatkan bantuan biaya sewa sebesar Rp1 juta per bulan. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda pembangunannya. 2.600 kepala keluarga yg dirampas lahannya, dipaksa sementara waktu tinggal di rusun BP Batam, Rusun Pemkot Batam dan Rusun Jamsostek. Alasan lainnya penolakan warga adalah eksitensi budaya dan ajaran melayu Islam yang ratusan tahun berjalan akan sirna tergantikan budaya modern ala China karena development plan PT MEP yg bekerjasama dengan China.