BULETINSUMSEL.COM-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberikan respons terhadap pelemahan skor Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur pada bulan Mei yang hampir mencapai fase ekspansi.
Dampaknya terhadap penurunan sektor manufaktur nasional pada bulan Mei 2023.Kemenperin mengadakan rapat kerja dengan tema “Evaluasi Kinerja Manufaktur Berdasarkan survei PMI dan indeks kepercayaan industri (IKI) tahun 2023”.
Dalam rapat tersebut, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa industri manufaktur sedang menghadapi beberapa masalah yang menyebabkan PMI manufaktur mendekati angka 50, yang berarti berada dalam posisi ekspansi yang tidak signifikan.
Pada awal tahun 2023, indeks PMI menunjukkan tren ekspansi. Skor PMI pada Januari 2023 mengalami peningkatan tipis dari Desember, yaitu dari 50,9 menjadi 51,3.
Namun, angka tersebut turun sedikit sebesar 0,1 poin pada bulan Februari menjadi 51,2.Pada bulan ketiga, PMI mencapai level 51,9, dan pada bulan April mencetak skor tertinggi yaitu 52,7. Sayangnya, PMI manufaktur justru turun pada bulan Mei dan kehilangan 2,7 poin menjadi 50,3, mendekati level kontraksi.
Agus mengungkapkan bahwa kondisi pelambatan sektor manufaktur ini tidak hanya terjadi di Indonesia, negara-negara dengan sektor manufaktur kuat seperti Vietnam juga mengalami kontraksi dengan level PMI sebesar 45,3.
Agus kemudian menjelaskan penyebab penurunan kinerja manufaktur pada bulan Mei 2023 ini, salah satunya adalah permintaan ekspor yang semakin melemah sejak tahun 2022.
Menurut Agus, Kementerian tidak memperkirakan bahwa perang Rusia-Ukraina akan semakin intensif dan menyebabkan penurunan permintaan ekspor di beberapa subsektor manufaktur secara berkelanjutan.
“Ini di luar prediksi kita bahkan saat ini semakin intens, dan berbagai faktor faktor eksternal lain,” tutur Agus dalam pembukaan “Rapat Kerja Kemenperin” di kawasan Sudirman, Jakarta pada Jumat, (16/06/23).
Dilihat dari IKI yang dirilis oleh Kemenperin, juga mengalami penurunan yang cukup signifikan. Meskipun angkanya lebih baik daripada PMI pada bulan Mei, yaitu sebesar 50,90, skor tersebut mengalami penurunan sebesar 0,48 dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yaitu 51,87.
Pelambatan IKI pada bulan Mei ini melengkapi tren penurunan IKI selama tiga bulan berturut-turut, sejak bulan Maret yang turun 0,45 menjadi 51,87 dari skor IKI pada bulan Februari sebesar 52,32.
Kemudian turun lagi pada bulan April sebesar 0,49 menjadi 51,38,dan pada bulan Mei kembali turun sebesar 0,48 poin.Agus menjelaskan bahwa penurunan IKI pada bulan Mei ini disebabkan oleh penurunan nilai variabel pesanan baru sebesar 0,73 poin, penurunan variabel produksi sebesar 2,7 poin, dan peningkatan variabel stok sebesar 2,67 poin.
“Ini menunjukkan bahwa terjadinya penumpukan ketersediaan stok, sehingga perusahaan terpaksa mengurangi produksi dikarenakan terjadinya penurunan pesanan artinya daya serap mandeg sedang tertekan,” jelas Agus.
Agus mengungkapkan bahwa tanpa pesanan domestik yang mendominasi variabel pesanan baru, sektor manufaktur menghadapi kesulitan. Saat ini, industri dalam negeri juga tidak dapat berharap banyak pada pasar global.
Terlebih lagi, menurut Agus, kondisi sektor manufaktur ini mencerminkan kondisi perekonomian suatu negara.Sebagai hasilnya, meskipun investasi mengalami peningkatan, perekonomian riil mengalami hambatan.
“Baik PMI maupun IKI dapat menjadi indikator nilai atau alarm bagi kita untuk melihat kinerja makro industri seiring dengan perkembangan pertumbuhan industri pada tahun 2023 yang harus kita evaluasi dengan jujur karena stagnan,” kata Agus.